Pernah dengar apa yang disebut vaginoplasti? Tindakan “reparasi” vagina ini menuntut indikasi medis yang jelas. Jadi, jangan demi mengejar kepuasan seksual semata?
Seperti yang dijelaskan Dr. Dewi Prabarini, Sp.OG., dari Brawijaya Women and Children Hospital, Jakarta, tindakan pemotongan otot-otot vagina ini sebetulnya ditujukan untuk para ibu yang melahirkan banyak anak (lebih dari 5 kali) secara normal dan bukan sesar, atau pernah melahirkan per vaginam bayi dengan berat di atas 4 kg tanpa mendapat jahitan perineum sebagaimana mestinya.
Indikasi medis lainnya ditujukan untuk wanita yang mengalami prolapsus uteri atau turun berok. Seorang wanita didiagnosis mengalami prolapsus uteri ini bila dinding vagina bagian belakang maupun depannya turun sehingga berada di lubang vagina. Kondisi ini tentu saja sangat menyiksa wanita yang bersangkutan. Mengapa dinding vagina bisa kendur? Tak lain karena otot-otot penggantungnya sudah sedemikian lemah “termakan” usia. Tak mengherankan kalau prolapsus uteri umumnya dialami oleh para wanita menjelang menopause, yakni 5-10 tahun sebelum datangnya menopause yang biasanya muncul di usia 40 tahun ke atas.
Kelainan vagina
Indikasi mutlak dilakukannya vaginoplasti adalah tidak terbentuknya vagina yang disebut dengan atrisia atau agenesis vagina, sehingga secara fisik yang bersangkutan kerap diragukan identitasnya sebagai perempuan. Untungnya kasus-kasus seperti ini sangat jarang. Yang juga dianggap sebagai kelainan adalah vagina yang hanya terbentuk sebagian (agenesis partial), vagina memiliki batas antara bagian atas dan bawah (septum transversal) atau kiri dan kanan (septum longitudinal) dan selaput dara tak memiliki lubang (himen inferforata). Begitu juga bila labia atau bibir vagina terlalu lebar atau malah mengalami perlekatan satu sama lain.
Kelainan-kelainan itu umumnya terjadi secara bawaan akibat gangguan saat pembentukan dan pertumbuhan vagina. Bisa juga didapat akibat infeksi, semisal keputihan menahun yang tidak ditangani secara tuntas. Bisa juga karena trauma akibat persalinan di antaranya penonjolan dinding vagina bagian depan (sistokel), penonjolan dinding bagian belakang (rektokel), pelebaran saluran vagina maupun pelebaran mulut vagina (introitus vagina) karena adanya ruptura perinei alias perobekan perineum.
Bukan tidak mungkin pula akibat terjadinya fistula atau ketidaknormalan antara vagina dengan saluran cerna maupun antara vagina dengan saluran kemih bawah (vesiko vagina fistula) yang membuat air kemih atau malah feses mencemari vagina. Normalnya, antara vagina dan lubang anus setidaknya berjarak 0,5 cm sampai 2 cm.
Pemeriksaan lengkap
Nah, terhadap kondisi-kondisi itulah tindakan vaginoplasti perlu dilakukan. Seperti halnya tindakan bedah pada umumnya, sebelum menjalani vaginoplasti, seorang wanita wajib menjalani rangkaian pemeriksaan. Mulai anamnesis, pemeriksaan fisik, general check up mencakup pemeriksaan urine dan darah, tekanan darah dan foto thorax, pemeriksaan ginekologik maupun IVP (Intravenous Pyelogram) yang memungkinkan dokter melihat gambaran kandung kemih secara utuh apakah berada di tempat sebenarnya atau tidak, sampai uji colok dubur.
Meski secara medis vaginoplasti ditujukan untuk wanita dengan kondisi-kondisi seperti yang telah disebut di atas, Dewi tak menampik fakta bahwa ada kalangan tertentu yang menjalani vaginoplasti demi mengejar kepuasan seksual. Logikanya, dengan dipotongnya otot-otot vagina memang vagina jadi lebih sempit. Kondisi inilah yang besar kemungkinan memberi kepuasaan seksual kepada pihak suami.
Akan tetapi Dewi mempertanyakan apakah si wanita sendiri mengalami tingkat kepuasan yang sama? Belum tentu! Karena sangat mungkin ia justru kesakitan karena dengan adanya tindakan pemotongan dan penjahitan kembali tentu saja kelenturan otot-otot vaginanya tidak sealamiah ketika belum ”direparasi”. Itulah mengapa, Dewi menegaskan pentingnya mengedepankan indikasi medis ketimbang kepentingan lain.(Sumber :Tabloid Nakita , Kompas,Jumat, 15 Mei 2009)