Dr Dieten Neuser, peneliti dari Bayer Schering Pharma, Jerman, produsen obat disfungsi ereksi verdenafil bernama Levitra, hanya terkekeh ketika ditanya mengapa semua peneliti di seluruh dunia sibuk berlomba-lomba membuat obat untuk ereksi. Mengapa tidak sebaliknya, membuat obat untuk mengurangi ereksi sehingga dunia menjadi lebih tenang.
"He-he-he. Orang lebih peduli pada kemampuan laki-laki. Lagi pula tidak ada pasarnya," ujar Neuser di Lisabon, Portugal, akhir November 2007.
Disfungsi ereksi ini kini telah menjadi perkara serius di dunia, juga di Tanah Air. Dalam sebuah rubrik seksologi asuhan Prof Dr Wimpie Pangkahila di tabloid Senior edisi 2-8 November 2007, seorang perempuan berusia 38 tahun di Semarang, Jawa Tengah, mengeluhkan suaminya yang berusia 39 tahun tidak bisa ereksi sejak empat bulan terakhir. Perempuan berinisial SN itu menulis, "Kalau saya bilang ingin hubungan seks, dia berusaha menghindar dengan berbagai alasan…".
Saat mencoba bertanya ke seorang ibu setengah baya di Semarang melalui SMS, misalnya, ia menjawab agak ketus, "Aku kok ditanyain demikian…Malah yang tak cari itu sing tegak berdiri, je…".
Perempuan modern kini lebih terbuka membicarakan kebutuhan akan ereksi pasangan seksualnya. Tidak hanya di ruang-ruang intim, mereka juga membicarakannya di ruang publik, di berbagai media massa, restoran, kantor, bahkan di ruang-ruang chatting. Keluhan disfungsi ereksi juga disampaikan para perempuan ke Klinik Meditama, salah satu klinik kesehatan laki-laki dan perempuan, di Jalan KH A Dahlan 9, tidak jauh dari kawasan Simpanglima, Semarang. Klinik tersebut setiap Sabtu secara khusus melayani konsultasi kesehatan seksual laki-laki dan perempuan, terutama disfungsi seksual. Disfungsi ereksi sendiri adalah varian dari disfungsi seksual, selain gangguan libido, ejakulasi dini, dan gangguan seksual lainnya.
Jumlah pasien baru di klinik tersebut rata-rata 3-4 pasien per bulan, umumnya seputar keluhan ereksi. Belum lagi yang secara rutin berkonsultasi. "Ibu-ibu yang datang ke sini menanyakan soal itu juga mulai banyak," tutur dr Rudi Yuwana PhD, urolog di klinik tersebut, Jumat (7/12). Kalau yang datang laki-laki, Rudi biasanya juga memanggil pasangan seksualnya untuk menyelidiki penyebab disfungsi ereksi tersebut. "Sebelum konsultasi biasanya saya sodori kuesioner," ujar Rudi.
Macam-macam keluhan di klinik tersebut sehingga menyebabkan disfungsi ereksi. Rudi Yuwana bercerita, pernah ada kasus yang ternyata sebabnya sepele saja. Seorang suami mengeluh tidak bisa ereksi bersama istrinya karena si istri selalu menolak berhubungan intim. Setelah istri tersebut juga ditanya, ternyata si istri tidak tahan dengan bau suaminya. "Ya, sarankan mandi dulu sebelum berhubungan," ujar Rudi sambil tertawa.
Faktor psikologis memang sering menyebabkan disfungsi ereksi. Namun, kata Rudi, sejak lima tahun sudah bergeser. Kalau dulu 80-90 persen disebabkan faktor psikologis seperti kasus di atas, sekarang ini 80-90 persen disebabkan oleh kelainan organik.
Belum diketahui berapa sebetulnya angka kejadian atau prevalensi disfungsi ereksi di Indonesia. Namun, sejumlah hasil riset bisa sedikit membantu. Hasil riset urolog Korea Ill Young Seo dan kawan-kawan yang dipaparkan dalam Kongres Masyarakat Kesehatan Seksual Asia Pasifik Oktober 2007 menyebutkan bahwa dari 5.280 laki-laki dengan usia rata-rata 53,5 tahun yang mengalami disfungsi ereksi kebanyakan disebabkan kelainan organik atau campuran antara organik dan psikologis.
Gangguan ereksi
Di seluruh dunia, seperti dikemukakan Sekretaris Jenderal Masyarakat Kesehatan Seksual Eropa Dr John Dean, 16 persen dari laki-laki berusia 20-75 tahun mengalami gangguan ereksi. Itu berarti, 152 juta laki-laki mengalami gangguan ereksi. "Diprediksi prevalensi itu meningkat menjadi 322 juta orang tahun 2025," ujar John Dean. Jadi, kira-kira 16 persen laki-laki usia 20-75 tahun di Indonesia pun juga mengalami disfungsi ereksi.
Menurut John Dean, disfungsi ereksi ini didefinisikan sebagai ketidakmampuan yang konsisten dan berulang-ulang dari laki-laki untuk mencapai dan/atau mempertahankan ereksi penis yang cukup untuk kinerja seksualnya. Kondisi ini umum terjadi pada laki-laki di atas usia 40 tahun dan kebanyakan tidak ditangani. Disfungsi ereksi ini juga meliputi kemampuan yang tidak konsisten untuk mencapai ereksi, kecenderungan untuk mempertahankan hanya ereksi yang singkat, atau ketidakmampuan total untuk mencapai ereksi.
Berbagai studi juga menunjukkan, disfungsi ereksi ini tidak hanya berpengaruh pada kualitas hidup laki-laki, tetapi juga kualitas hidup dan fungsi seksual pasangan perempuannya. Kepuasan seksual, yang adalah komponen kunci dari fungsi seksual, secara signifikan berkaitan dengan kepuasan perkawinan. Kepuasan dalam perkawinan itu pada gilirannya akan memiliki konsekuensi pada keseluruhan kesehatan dan kualitas hidup.
"Kemampuan ereksi ini penting untuk mewujudkan cinta yang lebih baik, for better love, karena terjadi kontak fisik yang intens," ujar Rudi Yuwana.
Dewasa ini sudah dibuat cara untuk mengukur disfungsi ereksi dari perspektif perempuan. Metode tersebut dikembangkan Prof Eusebio Rubio-Aurioles, Presiden Asosiasi Kesehatan Seksual Dunia, John Dean, dan kawan-kawan. Metodenya disebut Fame, akronim dari The Female Assessment of Male Erectile Dysfunction Detection Scale atau Skala Deteksi Penilaian Perempuan Atas Disfungsi Ereksi Laki-laki.
"Dari hasil riset menunjukkan bahwa sensitivitas Fame lebih tinggi daripada metode sebelumnya, yakni SHIM (Sexual Health Inventory for Men)," ujar Prof Eusebio.
Riset tersebut mengonfirmasi bahwa deteksi disfungsi seksual oleh pasangan seksual mereka sangat dimungkinkandengan catatan hal ini hanya berlaku untuk pasangan heteroseksual, bukan homoseksual. (Kompas,Minggu, 13 Januari 2008 )
"He-he-he. Orang lebih peduli pada kemampuan laki-laki. Lagi pula tidak ada pasarnya," ujar Neuser di Lisabon, Portugal, akhir November 2007.
Disfungsi ereksi ini kini telah menjadi perkara serius di dunia, juga di Tanah Air. Dalam sebuah rubrik seksologi asuhan Prof Dr Wimpie Pangkahila di tabloid Senior edisi 2-8 November 2007, seorang perempuan berusia 38 tahun di Semarang, Jawa Tengah, mengeluhkan suaminya yang berusia 39 tahun tidak bisa ereksi sejak empat bulan terakhir. Perempuan berinisial SN itu menulis, "Kalau saya bilang ingin hubungan seks, dia berusaha menghindar dengan berbagai alasan…".
Saat mencoba bertanya ke seorang ibu setengah baya di Semarang melalui SMS, misalnya, ia menjawab agak ketus, "Aku kok ditanyain demikian…Malah yang tak cari itu sing tegak berdiri, je…".
Perempuan modern kini lebih terbuka membicarakan kebutuhan akan ereksi pasangan seksualnya. Tidak hanya di ruang-ruang intim, mereka juga membicarakannya di ruang publik, di berbagai media massa, restoran, kantor, bahkan di ruang-ruang chatting. Keluhan disfungsi ereksi juga disampaikan para perempuan ke Klinik Meditama, salah satu klinik kesehatan laki-laki dan perempuan, di Jalan KH A Dahlan 9, tidak jauh dari kawasan Simpanglima, Semarang. Klinik tersebut setiap Sabtu secara khusus melayani konsultasi kesehatan seksual laki-laki dan perempuan, terutama disfungsi seksual. Disfungsi ereksi sendiri adalah varian dari disfungsi seksual, selain gangguan libido, ejakulasi dini, dan gangguan seksual lainnya.
Jumlah pasien baru di klinik tersebut rata-rata 3-4 pasien per bulan, umumnya seputar keluhan ereksi. Belum lagi yang secara rutin berkonsultasi. "Ibu-ibu yang datang ke sini menanyakan soal itu juga mulai banyak," tutur dr Rudi Yuwana PhD, urolog di klinik tersebut, Jumat (7/12). Kalau yang datang laki-laki, Rudi biasanya juga memanggil pasangan seksualnya untuk menyelidiki penyebab disfungsi ereksi tersebut. "Sebelum konsultasi biasanya saya sodori kuesioner," ujar Rudi.
Macam-macam keluhan di klinik tersebut sehingga menyebabkan disfungsi ereksi. Rudi Yuwana bercerita, pernah ada kasus yang ternyata sebabnya sepele saja. Seorang suami mengeluh tidak bisa ereksi bersama istrinya karena si istri selalu menolak berhubungan intim. Setelah istri tersebut juga ditanya, ternyata si istri tidak tahan dengan bau suaminya. "Ya, sarankan mandi dulu sebelum berhubungan," ujar Rudi sambil tertawa.
Faktor psikologis memang sering menyebabkan disfungsi ereksi. Namun, kata Rudi, sejak lima tahun sudah bergeser. Kalau dulu 80-90 persen disebabkan faktor psikologis seperti kasus di atas, sekarang ini 80-90 persen disebabkan oleh kelainan organik.
Belum diketahui berapa sebetulnya angka kejadian atau prevalensi disfungsi ereksi di Indonesia. Namun, sejumlah hasil riset bisa sedikit membantu. Hasil riset urolog Korea Ill Young Seo dan kawan-kawan yang dipaparkan dalam Kongres Masyarakat Kesehatan Seksual Asia Pasifik Oktober 2007 menyebutkan bahwa dari 5.280 laki-laki dengan usia rata-rata 53,5 tahun yang mengalami disfungsi ereksi kebanyakan disebabkan kelainan organik atau campuran antara organik dan psikologis.
Gangguan ereksi
Di seluruh dunia, seperti dikemukakan Sekretaris Jenderal Masyarakat Kesehatan Seksual Eropa Dr John Dean, 16 persen dari laki-laki berusia 20-75 tahun mengalami gangguan ereksi. Itu berarti, 152 juta laki-laki mengalami gangguan ereksi. "Diprediksi prevalensi itu meningkat menjadi 322 juta orang tahun 2025," ujar John Dean. Jadi, kira-kira 16 persen laki-laki usia 20-75 tahun di Indonesia pun juga mengalami disfungsi ereksi.
Menurut John Dean, disfungsi ereksi ini didefinisikan sebagai ketidakmampuan yang konsisten dan berulang-ulang dari laki-laki untuk mencapai dan/atau mempertahankan ereksi penis yang cukup untuk kinerja seksualnya. Kondisi ini umum terjadi pada laki-laki di atas usia 40 tahun dan kebanyakan tidak ditangani. Disfungsi ereksi ini juga meliputi kemampuan yang tidak konsisten untuk mencapai ereksi, kecenderungan untuk mempertahankan hanya ereksi yang singkat, atau ketidakmampuan total untuk mencapai ereksi.
Berbagai studi juga menunjukkan, disfungsi ereksi ini tidak hanya berpengaruh pada kualitas hidup laki-laki, tetapi juga kualitas hidup dan fungsi seksual pasangan perempuannya. Kepuasan seksual, yang adalah komponen kunci dari fungsi seksual, secara signifikan berkaitan dengan kepuasan perkawinan. Kepuasan dalam perkawinan itu pada gilirannya akan memiliki konsekuensi pada keseluruhan kesehatan dan kualitas hidup.
"Kemampuan ereksi ini penting untuk mewujudkan cinta yang lebih baik, for better love, karena terjadi kontak fisik yang intens," ujar Rudi Yuwana.
Dewasa ini sudah dibuat cara untuk mengukur disfungsi ereksi dari perspektif perempuan. Metode tersebut dikembangkan Prof Eusebio Rubio-Aurioles, Presiden Asosiasi Kesehatan Seksual Dunia, John Dean, dan kawan-kawan. Metodenya disebut Fame, akronim dari The Female Assessment of Male Erectile Dysfunction Detection Scale atau Skala Deteksi Penilaian Perempuan Atas Disfungsi Ereksi Laki-laki.
"Dari hasil riset menunjukkan bahwa sensitivitas Fame lebih tinggi daripada metode sebelumnya, yakni SHIM (Sexual Health Inventory for Men)," ujar Prof Eusebio.
Riset tersebut mengonfirmasi bahwa deteksi disfungsi seksual oleh pasangan seksual mereka sangat dimungkinkandengan catatan hal ini hanya berlaku untuk pasangan heteroseksual, bukan homoseksual. (Kompas,Minggu, 13 Januari 2008 )