Pada kondisi normal, vagina memproduksi cairan pada kondisi-kondisi tertentu. Menurut dr. Luky Satria, Sp.OF, spesialis obstetri dan ginekologi dari Brawijaya Women and Children Hospital, pada umumnya vagina memiliki mekanisme untuk pengondisian, semisal saat terjadi rangsangan seksual. Pada saat rangsangan terjadi, pembuluh darah di vagina akan membesar dan kelenjar bartolin aktif mengeluarkan cairan untuk membasahi bagian dalam vagina. Ini terjadi untuk mempersiapkan vagina saat penetrasi, sehingga tidak menyebabkan luka pada dinding leher vagina ketika berhubungan intim.
Namun, selain penyebab di atas, produksi cairan vagina juga dapat meningkat karena siklus ovulasi dan hormonal. Pada masa ovulasi, kelenjar bartolin dan ductus skene lebih aktif memproduksi cairan vagina terutama pada leher rahim (serviks), sebagai media pembuahan. Cairan ini berwarna bening dan berkonsistensi seperti putih telur. Sedangkan pada masa sebelum/sesudah menstruasi, produksi cairan vagina juga akan semakin banyak, karena pengaruh hormon estrogen yang meningkat.
Lantas, kenapa beberapa wanita mengeluh vaginanya "becek" saat berhubungan intim? Banyak atau sedikitnya cairan vagina ini, menurut Luky, terkadang merupakan pendapat pribadi dari sang perempuan sendiri. "Beberapa perempuan menganggap cairan vaginanya berlebih, sehingga merasa kurang nyaman dan khawatir suami terganggu. Namun ini sangat subyektif," tuturnya.
Sepanjang tidak ada cairan berwarna kekuningan atau kehijauan, cairan bergumpal seperti susu basi, disertai rasa gatal, rasa pedih, dan beceknya bukan hanya saat berhubungan seksual, tidak jadi masalah. "Dan, selama ini belum ada pembuktian secara ilmiah, apakah jumlah cairan vagina berlebih berkaitan dengan genetik maupun makanan tertentu," tambahnya lagi menepis anggapan yang banyak dipercaya awam.
Mengenai beberapa pendapat yang mengatakan konsumsi antihistamin, alkohol, merokok, menggunakan sabun pembasuh vagina, menyiram vagina menggunakan air bersih sebelum berhubungan seksual, dan posisi bercinta dengan bokong yang ditinggikan untuk mengurangi produksi cairan vagina, Luky sekali lagi mengatakan, hal itu belum dapat dibuktikan secara ilmiah. "Namun, jika sudah mengarah ke gejala penyakit, sebaiknya periksakan ke dokter," ungkap Luky mengingatkan.
(Kompas,Selasa, 13/4/2010)
Namun, selain penyebab di atas, produksi cairan vagina juga dapat meningkat karena siklus ovulasi dan hormonal. Pada masa ovulasi, kelenjar bartolin dan ductus skene lebih aktif memproduksi cairan vagina terutama pada leher rahim (serviks), sebagai media pembuahan. Cairan ini berwarna bening dan berkonsistensi seperti putih telur. Sedangkan pada masa sebelum/sesudah menstruasi, produksi cairan vagina juga akan semakin banyak, karena pengaruh hormon estrogen yang meningkat.
Lantas, kenapa beberapa wanita mengeluh vaginanya "becek" saat berhubungan intim? Banyak atau sedikitnya cairan vagina ini, menurut Luky, terkadang merupakan pendapat pribadi dari sang perempuan sendiri. "Beberapa perempuan menganggap cairan vaginanya berlebih, sehingga merasa kurang nyaman dan khawatir suami terganggu. Namun ini sangat subyektif," tuturnya.
Sepanjang tidak ada cairan berwarna kekuningan atau kehijauan, cairan bergumpal seperti susu basi, disertai rasa gatal, rasa pedih, dan beceknya bukan hanya saat berhubungan seksual, tidak jadi masalah. "Dan, selama ini belum ada pembuktian secara ilmiah, apakah jumlah cairan vagina berlebih berkaitan dengan genetik maupun makanan tertentu," tambahnya lagi menepis anggapan yang banyak dipercaya awam.
Mengenai beberapa pendapat yang mengatakan konsumsi antihistamin, alkohol, merokok, menggunakan sabun pembasuh vagina, menyiram vagina menggunakan air bersih sebelum berhubungan seksual, dan posisi bercinta dengan bokong yang ditinggikan untuk mengurangi produksi cairan vagina, Luky sekali lagi mengatakan, hal itu belum dapat dibuktikan secara ilmiah. "Namun, jika sudah mengarah ke gejala penyakit, sebaiknya periksakan ke dokter," ungkap Luky mengingatkan.
(Kompas,Selasa, 13/4/2010)