Dari Tonga Sampai Jakarta, Manusia Semakin Gemuk dan Gemuk!


Reno (bukan nama sebenarnya), anak lelaki berusia tujuh tahun yang tinggal di Jakarta Barat, kini berberat tubuh 55 kilogram. Akibatnya, kaki Reno tak berkembang optimal. Kakinya melengkung berbentuk O. Setahun terakhir, kakinya tak kuat lagi membawa tubuhnya berjalan jauh. "Kalau jalan 100 meter-an masih kuat, tapi setelah itu ia kecapekan lalu minta gendong," tutur Lies, ibunda Reno. (Kompas 2 Juni 2004)

Tak hanya di Jakarta, jutaan orang Asia lainnya, mulai dari para eksekutif yang menghuni hutan beton hingga penduduk di kepulauan Pasifik yang adem ayem terancam pembunuh tersembunyi: Obesitas!

Di kepulauan Pasifik, terlebih penduduk wanitanya, mereka adalah orang-orang tergemuk di dunia. Sekitar 55 persen wanita Tonga, 74 persen wanita Samoa, dan 77 persen wanita dan pria yang tinggal di Nauru menderita kegemukan.

Di Selandia Baru, lebih dari 50 persen orang dewasa kelebihan berat badan. Di Taiwan lebih dari 30 persen penduduknya menderita kegemukan.

Sama seperti Singapura, Vietnam melaporkan 52 persen penduduknya dewasanya mengonsumsi makanan berlemak tinggi, dan 58 persen penduduk tidak aktif secara fisik.
Di Cina, dimana pendapatan penduduk meningkat dengan cepat, 30 persen anak-anak dan orang dewasa kelebihan berat badan. Begitu juga di Korea Selatan, 20 persen penduduknya menderita obesitas, angka ini meningkat 26 persen dibanding tahun 1998.

Bagaimana di Indonesia? Saat ini diperkirakan 10 dari setiap 100 penduduk Jakarta menderita obesitas. Bertambahnya jumlah orang gemuk juga diindikasikan dengan maraknya pusat-pusat kebugaran yang menjanjikan penurunan berat badan. Selain itu, hampir setiap hari kita melihat di layar televisi atau membaca di surat kabar tentang iklan berbagai produk penurun berat badan.

Membaiknya tingkat kehidupan masyarakat selama 20 tahun terakhir telah membawa jutaan orang melarat pada masalah baru. Hampir di seluruh wilayah Asia, bahkan dunia, orang-orang semakin gemuk dan gemuk.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam pertemuannya di Jenewa, minggu lalu mengajak pemerintah Asia-Pasifik mencanangkan perang melawan kegemukan yang mengancam kesehatan masyarakat. Sebuah ancaman yang datangnya tidak seketika tetapi perlahan dan mematikan.

"Kegemukan tidak membawa dampak seketika seperti SARS atau flu burung, " kata Dr. Gauden Galea, kepala perwakilan WHO di Filipina. "Ancaman kegemukan merangkak perlahan-lahan di tengah masyarakat tanpa disadari. Lihat saja, anak bertubuh gemuk malah dikatakan sehat dan menggemaskan," lanjutnya.

"Seiring dengan meningkatnya kemakmuran, gaya hidup masyarakat pun berubah. Mereka lebih banyak duduk, tenggelam dalam pekerjaan. Hidup lebih tertekan, dan fast food menjadi santapan sehari-hari."

Di perkotaan, sepeda mulai digantikan mobil. Jaringan restoran fast food ala Barat berkembang pesat dan dengan mudah bisa ditemui di setiap sudut jalan. Di meja makan, makanan siap saji yang praktis dan tinggal dipanaskan menggusur hidangan tradisional. Sepanjang hari, orang tidak banyak bergerak. Mereka lebih banyak duduk, diam terpasung oleh pekerjaan.

Perubahan-perubahan tersebut, melanda wilayah Asia terutama dalam sepuluh tahun terakhir.
WHO mengungkapkan lebih dari 1 milyar orang dewasa di seluruh dunia kelebihan berat badan (overweight), dan 300 juta diantaranya menderita kegemukan (obesitas).

Celakanya, kegemukan, baik yang berupa kelebihan berat badan maupun obesitas, identik dengan penyakit. Kegemukan bisa memicu munculnya penyakit seperti jantung koroner, diabetes, dan stroke.

Pada anak-anak, kegemukan bisa memicu penyakit terutama jantung, diabetes, fungsi paru, peningkatan kadar kolesterol, gangguan ortopedik (kaki pengkar) sampai rentan terhadap kelainan kulit.

Dampak lainnya, biaya kesehatan yang harus ditanggung masyarakat akibat penyakit yang berkaitan dengan kegemukan ikut-ikutan membengkak.

Data WHO mengungkapkan dari 120 juta penderita diabetes tipe 2 di seluruh dunia, 30 juta diantaranya berada di Asia-Pasifik. Yang lebih mengerikan, penyakit yang biasanya menyerang orang dewasa ini dengan cepat merebak di kalangan anak-anak Asia.

"Jaman dulu, diabetes jarang diderita anak-anak. Sekarang, ketika anak-anak itu kelebihan berat badan, mereka terkena diabetes," kata Dr Galea.

Antara tahun 2000-2010, penderita diabetes di Asia diperkirakan meningkat 57 persen.
"Ini statistik yang menakutkan. Jika penyakit HIV/AIDS, angka ini sangat menggemparkan. Lebih mengerikan lagi -- penyakit diabetes yang tidak dipandang seburuk HIV-- berkembang begitu pesat tanpa menarik perhatian masyarakat. Padahal, diabetes sangat merusak kesehatan, mengakibatkan jumlah penderita serangan jantung, kebutaan, gagal ginjal meningkat sangat besar."

Perubahan gaya hidup sebagai efek dari globalisasi, modernisasi, dan urbanisasi, dan sejumlah faktor lain dituding sebagai penyebab meningkatnya jumlah penderita obesitas.

Tak hanya di Asia-Pasifik, obesitas juga menjadi persoalan besar di Amerika. Awal tahun 2004, Gubernur Florida, Jeb Bush menyerukan kepada segenap warga negara bagian yang dipimpinnya agar berhenti menyantap hidangan tidak sehat (junk food), mengurangi bekerja di depan komputer, dan memperbanyak kegiatan olahraga.

WHO sendiri semakin gencar mendesak pemerintah Asia untuk mempromosikan hidup sehat kepada warganya. Antara lain dengan mengurangi konsumsi gula, garam dan makanan berlemak, serta berolahraga setidaknya 30 menit per hari!

Hmm.. bagaimana dengan Anda? Sanggupkah Anda menggasak kegemukan...??? /Kompas