Meski manfaatnya sangatlah besar, kantung plastik ternyata sangat membahayakan lingkungan. Residu atau limbahnya bahkan dapat mengancam kesehatan. Masyarakat perlu mengurangi penggunaan kantung plastik atau lebih baik mengolahnya.
”Sampah di Kota Bandung tiap harinya 6.000 – 7.000 meter kubik. Setara dengan berat 1.000 ekor gajah. Dari situ, lembaran plastiknya bisa menutupi 50 lapangan sepak-bola. Padahal, plastik ini sulit diurai oleh alam. Menghambat drainase dan mengakibatkan banjir,” ujar angggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Sobirin, Senin (4/2).
Sobirin menyampaikan hal itu dalam jumpa pers Kegiatan Gerakan Antikantung Plastik yang digagas Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung. Turut hadir novelis Dewi Lestari, akademisi Muhammad Chairul, dan pihak panitia. Acara ini akan digelar Selasa (5/2) hingga Sabtu (9/2) di kampus ITB dan sejumlah titik di Kota Bandung.
Muhammad Chairul, dosen Teknik Lingkungan ITB mengatakan, sampah plastik di Bandung memiliki porsi sekitar 10 persen dari total volume sampah (7.000 m3). Dari jumlah itu, sangat sedikit yang didaur ulang. ”Paling-paling di TPA Sarimukti. Lainnya dibiarkan begitu saja,” ucapnya.
Di Indonesia, plastik mayoritas masih terbuat dari bahan polimer kimia yang tidak dapat diurai mikroorganisme. Di negara lain, misalnya China, lazim digunakan bahan lain yang lebih ramah lingkungan dan dapat didekomposisi, yaitu polylaktida berbahan dasar selulosa macam bakteri, kitosan, kitin, dan tepung tumbuhan. Bersama suatu lembaga, Sobirin tengah meneliti plastik dari bahan kulit singkong.
Menyebabkan kankerMenurut Chairul, plastik tidak berbahaya selama itu belum berupa limbah. Jika itu sudah berupa limbah, apalagi dibakar, polutannya dapat mengancam kesehatan. ” Pembakaran plastik yang tidak sempurna, di bawah 800 derajat celcius, akan membentuk dioksin. Senyawa inilah yang berbahaya,” ujarnya. Berdasarkan penelitian, senyawa dioksin dapat menimbulkan penyakit kanker, hepatitis, pembengkakan hati, gangguan sistem saraf, dan memicu depresi.
Atas dasar persoalan itu, ungkap Ketua Panitia Kampanye Antikantung Plastik Cinta Azwiendasari, kampanye tersebut penting dilakukan. Masyarakat perlu disadarkan bahayanya kantung plastik bagi lingkungan hidup. ”Segmen kegiatan ini sebetulnya lebih kepada segmen usia 15-25 tahun. Anak muda dan remaja. Kami berharap gerakan ini bisa menjadi tren. Sehingga efektif hasilnya,” ujarnya.
Mewakili kaum selebritis, Dewi Lestari menekankan pentingnya kesadaran moral individu dan keluarga untuk mendukung kampanye lingkungan macam ini. Perubahan kecil dari diri sendiri atau keluarga harus mulai dibangun. ”Mengubah kebiasaan adalah kuncinya. Seperti orang diet, awalnya memang tidak mudah menahan diri,” ucapnya.
Di rumahnya, Dewi sudah memberlakukan pemilahan sampah antara organik dan nonorganik. Sampah kertas dan plastik dikumpulkan dan diberi ke pemulung. Sementara, sampah organik dijadikan kompos. Lingkungan hidup, ungkapnya, hendaknya menjadi perhatian lebih. Khususnya, pemerintah. Sebab, lingkungan hidup-lah satu-satunya hal di dunia yang tidak mengenal persoalan gender, agama, suku, apalagi politik.
Agar menjadi kegiatan yang populer, Kampanye Antikantung Plastik ini menurut rencana akan dimeriahkan pula oleh kehadiran artis lainnya d’Cinnamons dan Yuki ”Pas Band” serta aktivis lingkungan hidup lainnya. Ada pula lomba desain tas anti-plastik, pembacaan 1.000 puisi sampah, dan roadshow (KCM, 4/2/08)