Antibiotik selama bertahun-tahun telah menjadi obat mujarab untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Obat ini seringkali menjadi jurus pamungkas bagi para dokter untuk “kesembuhan” pasien-pasiennya, tanpa memandang berat ringan penyakit yang diderita, usia, dan kondisi kesehatan mereka. Padahal, konsumsi antibiotik tidak selamanya menjadi solusi terbaik atas suatu keluhan penyakit.
Zahner dan Mass (1972) mendefinisikan antibiotik sebagai substansi yang dihasilkan oleh organisme hidup yang dalam konsentrasi rendah dapat menghambat atau membunuh organisme lainnya. Antibiotik berasal dari kata anti dan bios (hidup, kehidupan). Dengan demikian, antibiotik merupakan suatu zat yang bisa membunuh atau melemahkan suatu makhluk hidup, yaitu mikro-organisme (jasad renik) seperti bakteri, parasit, atau jamur.
Untuk penyakit yang disebabkan oleh bakteri, antibiotik cukup dapat diandalkan. Contoh penyakit akibat infeksi bakteri adalah sebagian infeksi telinga, infeksi sinus berat, radang tenggorokan akibat infeksi kuman Streptokokus, infeksi saluran kemih, tifus, tuberkulosis, dan diare akibat amoeba hystolytica. Namun, antibiotik tidak dapat membunuh virus. Karena itu, antibiotik tidak dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh virus. Dengan kata lain, antibiotik bukanlah obat dewa penyembuh segala macam penyakit.
Jenis Antibiotik
Kehebatan “si peluru ajaib” dalam menyembuhkan berbagai macam penyakit infeksi, kemudian diikuti oleh penemuan dan pengembangan berbagai jenis antibiotik lainnya. Saat ini lebih dari 100 jenis antibiotik telah tersedia untuk mengobati beragam jenis infeksi, baik yang ringan maupun yang sangat berat. Dari 100 jenis antibiotik tersebut, kemudian dikelompokkan menjadi 9 kelompok besar berdasarkan struktur kimianya.
Berdasarkan mekanisme aksinya, yaitu mekanisme bagaimana antibiotik secara efektif meracuni sel bakteri, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut: (1) mengganggu sintesis dinding sel (seperti penisilin, sefalosporin, imipenem, vankomisin, basitrasin); (2) mengganggu sintesis protein bakteri (seperti klindamisin, linkomisin, kloramfenikol, makrolida, tetrasiklin, gentamisin); (3) menghambat sintesis folat (seperti sulfonamida dan trimetoprim); (4) mengganggu sintesis DNA, (seperti metronidasol, kinolon, novobiosin); (5) mengganggu sintesis RNA (seperti rifampisin); serta (6) mengganggu fungsi membran sel (seperti polimiksin B, gramisidin).
Berdasarkan organisme yang dilawan dan jenis infeksi, antibiotik dapat dibedakan menjadi antibiotik yang hanya dapat membidik bakteri gram positif atau gram negatif saja, serta bakteri yang berspektrum luas, yaitu dapat membidik bakteri gram positif dan negatif.
Salah Kaprah
Penggunaan antibiotik di Indonesia memang nyaris tanpa arahan. Banyak dokter meresepkan antibiotik kepada para pasiennya, padahal sebetulnya mereka tidak membutuhkan. Indonesia memang belum memiliki standar baku mengenai penggunaan antibiotik, sementara di negara-negara lain aturan pemakaian telah baku untuk setiap jenis penyakit.
Bila anak-anak yang mengalami panas, batuk, dan pilek akut diperiksakan ke dokter, kemungkinan besar dokter akan meresepkan antibiotik. Hal tersebut tidaklah tepat karena 90 persen dari penyakit tersebut disebabkan oleh virus, bukan bakteri.
Karena itu, pemberian antibiotik tidak akan mempan untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Sebaliknya, pemberian antibiotik tersebut justru akan merugikan sistem kekebalan tubuh si anak.
Antibiotik selama ini dikenal sebagai obat sejuta penyakit karena berbagai penyakit dianggap dapat disembuhkan dengan hanya mengonsumsi antibiotik. Beberapa ahli medis bahkan tidak segan-segan memberi resep antibiotik dengan dosis berlebih dan tidak mengenal batas usia. Penggunaan antibiotik yang salah kaprah ini jelas dapat merupakan bom waktu yang sangat berbahaya.
Dalam hal penggunaan antibiotik, satu hal yang perlu ditekankan bahwa antibiotik hanya dapat membunuh bakteri, sehingga penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus seperti influenza tidak dapat disembuhkan dengan antibiotik. Penggunaan dosis antibiotik juga haruslah tepat, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang.
Penggunaan antibiotik berlebih akan menyebabkan overdosis. Sebaliknya, penggunaan yang kurang akan menyebabkan bakteri resisten (kebal) dan membentuk varian bakteri baru, yang justru dapat menimbulkan penyakit yang lebih berbahaya.
Praktik penggunaan antibiotik yang salah juga terlihat dari perilaku pasien yang menghentikan konsumsi antibiotik ketika tubuhnya mulai terasa sehat. Perilaku tersebut sangatlah berbahaya mengingat konsumsi antibiotik yang tidak tuntas menyebabkan bakteri penyebab penyakit di dalam tubuh tidak sepenuhnya punah. Hal tersebut justru akan memicu bakteri untuk bermutasi menciptakan gen yang lebih tahan terhadap antibiotik tersebut.
Sebuah publikasi yang dikeluarkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyatakan bahwa di Indonesia telah ditemukan 23 bakteri jenis Escherichia coli dan 33 bakteri jenis Klebsiella pneumonia yang kebal terhadap antibiotik, sebagai akibat dari penggunaan antibiotik yang tidak tepat guna. Tingkat kekebalan bakteri tersebut meningkat 2-3 kali lipat sejak tahun 1997.
Pada tahun 1989, sebanyak 83 persen kasus wabah tifus di India tidak dapat ditanggulangi karena bakteri penyebab penyakit tersebut telah mengalami mutasi, sehingga menjadi kebal terhadap antibiotik. Itulah sebabnya penggunaan antibiotik tidak dapat sama dari waktu ke waktu, meskipun jenis penyakitnya sama. Besar kemungkinan bakteri akan mengalami mutasi, sehingga jenis dan dosis antibiotik yang sama tidak dapat lagi diandalkan untuk membunuh jenis bakteri tersebut.
sumber : gayahidupsehatonline