Lelaki semakin terbuka dengan informasi, dan tak lagi tabu bicara soal masalah disfungsi ereksi. Benarkah demikian? Sejauhmana Anda dan pasangan mengenali mitos atau fakta seputar masalah kesulitan ereksi? Cari tahu kebenarannya, dengan memperbanyak referensi, dan lebih penting lagi, lakukan konsultasi dengan dokter spesialis andrologi dan seksologi.
Bagaimanapun persoalan disfungsi ereksi, menurut survei Asia Pacific Sexual Health and Overall Wellness (APSHOW) di 13 negara pada 2008 (termasuk Indonesia), terdapat korelasi antara kepuasan seksual pasutri dengan kepuasan hidup secara umum. Termasuk kebahagiaan dalam hidup berkeluarga serta peran individu sebagai suami atau istri.
Yang dimaksud disfungsi ereksi (DE) adalah kondisi saat pria tidak dapat mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang optimal untuk mencapai kepuasan seksual. Kenali mitos dan fakta terkait ereksi, agar tak terjebak dalam informasi yang keliru dan bisa lebih bijak mencari solusinya.
Mitos: Mengalami kesulitan ereksi artinya kehilangan ketertarikan seks, kehilangan tenaga, bahkan mandul.
Fakta: Kesulitan ereksi tidak ada kaitannya dengan kekuatan, kejantanan, atau keinginan seksual dari lelaki. Karena kesulitan ereksi lebih terkait pada kemampuan membuat atau mempertahankan ereksi. Artinya, mengalami kesulitan ereksi tidak berarti kehilangan keinginan dalam seksual atau bahkan menjadi mandul. Sebagian lelaki dengan kesulitan ereksi masih memiliki gairah dan keinginan untuk mencapai orgasme serta mengalami ejakulasi.
Mitos: "Pria sejati" tidak mengalami kesulitan ereksi.
Fakta: Pria juga manusia, yang mengalami pertambahan usia, memiliki latar belakang ras atau etnis yang mempengaruhi perilaku budaya, kebiasaan, serta keyakinannya. Banyak pria yang akan mengalami kesulitan ereksi atau sulit mempertahankan ereksi, dikarenakan perubahan usia dan faktor eksternal lainnya termasuk gaya hidup. Jadi setiap lelaki memungkinkan mengalami persoalan ereksi. Namun jika kesulitan mencapai atau mempertahankan ereksi hanya dialami sesekali, bukan masalah besar. Menjadi masalah dan perlu segera dicari solusinya jika masalah ereksi berlanjut terus-menerus, karena akan mempengaruhi hubungan pribadi dan menjadi masalah bagi pasutri.
Mitos: Masalah ereksi hanya terjadi pada pria tertentu atau karena faktor usia.
Fakta: Disfungsi ereksi (DE) sering terjadi pada siapapun. Bahkan American Medical Association merilis data 10 persen dari lelaki mengalami DE yang menetap. Sejumlah pria yang tidak mengalami DE, setelah diperiksa, ternyata mengalami ereksi suboptimal (lihat skala ereksi).
DE bukan hal normal untuk semua pria berapapun usianya. Sekalipun DE kerap terjadi pada pria usia tua, dibandingkan dengan pria muda, bukan berarti DE adalah proses penuaan. DE juga bisa terjadi pada pria yang lebih muda, karena pengaruh gaya hidup.
Prinsipnya, meski pria berusia lebih tua membutuhkan stimulasi fisik lebih lama untuk bisa terangsang secara seksual, bukan berarti mereka mengalami disfungsi ereksi. Karena DE lebih kepada kemampuan mencapai atau mempertahankan kekerasan ereksi agar bisa melakukan aktivitas seksual yang memuaskan.
Sebaiknya, pastikan suami Anda mengubah gaya hidupnya, menjadi lebih sehat, untuk menurunkan risiko mengalami DE. Seperti berhenti merokok, olahraga teratur, menghindari konsumsi alkohol yang berlebihan, menjaga kondisi fisik untuk mengindari penyakit kronis seperti gagal ginjal, penyakit jantung, dan diabetes. Pria dengan penyakit kronis ini memiliki risiko lebih tinggi mengalami DE.
Mitos: DE tidak mudah diobati, jadi tidak ada gunanya mencari pengobatan.
Fakta: Sebagian besar kasus membuktikan, DE bisa secara sukses diobati. Jadi, tak ada alasan bagi pria untuk tidak mencari pertolongan dokter. Mencari bantuan mengatasi ereksi bisa dengan konsultasi dengan dokter spesialis andrologi dan seksologi, lalu memulai terapi.
Dalam beberapa kasus, pria memang harus menjalani konsultasi tunggal dengan terapi untuk mengatasi DE. Dokter biasanya menanyakan gaya hidup pria, untuk mencari tahu sejarah kesehatan dan sejarah seksualnya. Pemeriksaan standar kesehatan dibutuhkan, seperti mengambil darah. Tes laboratorium untuk mengambil contoh darah dan urin akan membantu mengidentifikasi kasus medis yang nantinya akan menentukan apakah perlu dilakukan terapi.
Sebaiknya, pasutri mulai memberanikan diri terbuka untuk berdiskusi seputar masalah DE atau masalah seksual lainnya. Budaya diam yang sungkan bicara kesulitan ereksi biasanya dipupuk karena persoalan budaya terkait lelaki yang selalu dilabelkan dengan kejantanan. Padahal dengan mengobati persoalan ereksi, pria bisa menolong dirinya sendiri juga pasangan, dan menyelamatkan hubungan dari kegagalan.
Mitos: DE hanya akan mempengaruhi pria.
Fakta: DE perlu diatasi karena akan dirasakan juga oleh pasangan. Kesulitan ereksi membuat pria cenderung menghindari kontak seksual. Hal ini membuat pasangan merasa tak lagi dicintai, tidak diinginkan, atau merasa tidak menarik lagi. Konflik yang awalnya personal ini, jika kemudian tidak juga dikomunikasikan, akhirnya akan berdampak secara psikologis bagi pasutri. Baik istri maupun suami akan depresi, cemas dan kurang percaya diri. Tentu saja dampak ini tak hanya akan mempengaruhi diri sendiri, namun menjadi sumber konflik berpasangan.
(Sumber: Survei APSHOW Global, Kompas,Senin, 5/7/2010)