Kasus kelebihan berat badan, kegemukan, obesitas, atau apa pun namanya, memang lebih banyak membebani para wanita. Tidak saja bahwa kaum perempuan harus menyandang stigma "kurang nyaman untuk dilihat" dari segi penampilan, tetapi kenyataannya, mereka pun menghadapi angka kematian lebih tinggi dibandingkan lawan jenisnya, yaitu kaum pria….
Tak bisa dihindari, perubahan zaman pada akhirnya berdampak pula pada perubahan pola hidup yang juga membawa akibat pada perubahan pola makan. Dan, apa yang terjadi kemudian pun bisa pula ditebak. Ketika orang mulai meninggalkan pola makan lebih sehat, yaitu masakan dapur "ibu" yang terdiri dari sayuran, daging, dan ikan yang selalu segar, serta tempe, tahu, lalapan, dan buah-buahan, kemudian beralih ke pola makanan cepat saji ala Amerika, yang terjadi adalah kasus kelebihan berat badan.
Mungkin agak tergesa-gesa untuk meletakkan kesalahan utama pada pola makan ala Amerika. Namun, kenyataannya, banyak orang yang kemudian belajar menyiasati pola makan tersebut agar terhindar dari kegemukan luar biasa atau obesitas.
Kemasannya yang praktis dan mudah dibawa dalam kondisi apa pun menjadi daya tarik utama orang untuk beralih ke konsumsi makanan ala Amerika tersebut. Sayang, di balik kemasan penuh pesona itu tersimpan "umpan" dahsyat yang bila tidak hati-hati bisa dengan mudah membawa konsumen ke arah obesitas.
Padat kalori
Para ahli dari Medical Research Council mengatakan, makanan cepat saji atau penuh dengan kalori padat. Karena itu, tidak perlu makan dalam jumlah besar. Persoalannya, menurut BBC News, makanan "padat energi" seperti itu justru merangsang orang untuk mengonsumsi kalori dalam jumlah lebih dan lebih banyak lagi. Unsur ini menjadi penyebab utama terjadinya kegemukan hingga obesitas.
Di balik kehebatannya sebagai "polisi dunia", Amerika sendiri hingga saat ini masih terus berkutat dengan obesitas. Secara kasar, Pusat Pencegahan dan Kendali Penyakit AS mengatakan, dua pertiga warga Amerika mengalami kelebihan berat yang sangat dan hampir sepertiga di antaranya masuk kualifikasi obesitas.
Asosiasi Obesitas Amerika mencatat kecenderungan obesitas yang terus meningkat. Terutama pada wanita. Prevalensi obesitas pada kaum wanita antara umur 20 tahun hingga 74 tahun mencapai 62 persen pada tahun 1999-2000. Tahun 1988-1994, angka itu hanya 51,2 persen. Periode yang sama, obesitas pada pria hanya mencapai 35,8 persen. Sebelumnya, periode 1988-1994, obesitas hanya mencapai 10,5 persen.
Kantor berita AP mengatakan, obesitas ditentukan dengan sistem BMI (body mass index) atau Indeks Masa Tubuh (IMT), yaitu kalkulasi yang didasarkan pada tinggi dan berat badan seseorang.
Jika seseorang memiliki tinggi badan lima sampai 10 kaki, ia akan disebut kelebihan berat badan jika berbobot antara 174 hingga 208 pon. Dan baru disebut obesitas jika ia berberat badan di atas 209 pon. Dengan kata lain, seseorang belum bisa disebut obesitas jika ia bertinggi badan 180 sentimeter, meski memiliki berat 93,5 kilogram.
Dari 11.000 responden yang ikut dalam penelitian Thomson Medstat, sebuah lembaga pengkajian kesehatan yang berbasis di Michigan, AS, sebanyak 3.100 orang di antaranya mengalami obesitas, bahkan pada tingkat cukup mengerikan. Sedangkan 4.200 orang masuk dalam kategori kelebihan berat badan, 3.800 orang dikategorikan normal, serta 200 orang di bawah normal.
Angka ini jauh lebih besar dibandingkan kasus obesitas di tempat lain. Di Eropa, misalnya, selama 10 tahun terakhir tren obesitas hanya berkisar 10 hingga 40 persen. Bahkan, kasus obesitas jarang ditemukan di wilayah Asia, Afrika, China, dan kepulauan Pasifik.
Sedangkan di Indonesia, data dari Obesitas Indonesia menunjukkan, dari sekitar 210 juta penduduk Indonesia tahun 2000, jumlah penduduk yang kelebihan berat badan mencapai 76,7 juta atau 17,5 persen dan pasien obesitas sekitar 9,8 juta (4,7 persen).
Lebih berbahaya
Suka tidak suka harus diakui, obesitas lebih berbahaya bagi perempuan. Mengutip pakar dari Universitas Columbia, New York, AS, Dr Peter Muennig, CNN mengatakan, angka kematian akibat obesitas pada wanita hingga usia 45 tahun memang lebih rendah dibandingkan pria. Namun, setelah usia 45 tahun, tingkat mortalitas pada perempuan akibat obesitas melesat jauh lebih tinggi dibandingkan pria.
Asosiasi Obesitas Amerika mencatat, pada umur antara 30-55 tahun, kematian wanita hampir sepenuhnya terkait dengan urusan berat badan. Bahkan, ketika indeks IMT melebihi 30, risiko kematian akibat obesitas bisa mencapai 50 persen.
Berita lain yang juga tidak membahagiakan, obesitas pada perempuan mendekatkannya pada berbagai jenis penyakit. Dari arthritis, osteoarthritis, hingga kanker. Perempuan yang mengalami obesitas berisiko lebih tinggi terkena kanker payudara, terutama setelah masa menopause. Mereka juga tiga kali lebih berisiko terkena kanker endometrial, penyakit kardiovaskular, hingga masalah infertilitas. Lebih dari itu, kaum wanita obesitas lebih mengalami diskriminasi "perlakuan" dibandingkan pria.
Untuk mencegah hal itu, berbagai upaya kini ditempuh. Baik dari penataan diet dengan benar hingga obat-obatan. Para ahli di AS, misalnya, kini sedang mengkaji kemungkinan mengembangkan vaksin anti-obesitas.
Namun, perlu tidaknya vaksin itu terus dikembangkan, hingga saat ini masih menjadi perdebatan di antara para ahli. Sebab, dari semua itu, yang terpenting adalah kembali ke pola hidup yang benar dan mengatur diet yang seimbang. (Rien Kuntari-Kompas)