KESEHATAN memang bukan segala-galanya, tetapi tanpa kesehatan segala-galanya juga tak berarti apa-apa. Karena itu, menjaga kesehatan amatlah perlu. Kegemukan misalnya, potensial memicu penyakit kronis termasuk diabetes. Mereka yang kegemukan berpeluang terkena diabetes 18 kali dibanding yang berberat normal.
MUNCULNYA kegemukan dan diabetes dapat disebabkan oleh melimpahnya gula darah (glukosa) akibat makan berlebihan. Insulin tubuh dapat menurunkan gula darah, memasukkannya ke dalam sel dan mengubahnya menjadi cadangan energi berupa lemak dan tertimbun di dalam tubuh, yang bisa menambah berat dan menyebabkan kegemukan.
Pola lain yang muncul adalah hormon insulin tubuh tidak diproduksi lagi (diabetes tipe 1) atau jumlahnya tidak memadai (diabetes tipe 2, mencakup 90–95 persen kasus) sehingga gula darah tetap tinggi dan merambah ke mana-mana, termasuk ginjal.
Karena kinerja organ penyaring darah ini terganggu maka air seni yang dibuang masih mengandung gula. Makanya, penyakit ini sering disebut kencing manis. Dampak diabetes diketahui membawa komplikasi berbagai gangguan fungsi jantung, ginjal, dan sistem saraf, juga stroke, kebutaan, dan tekanan darah tinggi.
Meski demikian, level gula darah tidak boleh kurang dari 40 mg/dL (2,2 mM/L) karena akan berdampak koma, kejang mendadak, hingga kematian. Sebaliknya, jika konsentrasi melebihi 180 mg/dL (10 mM/L) dapat menyebabkan penyakit-penyakit di atas.
Mengapa kegemukan memicu diabetes? Dengan volume dan berat tubuh melebihi normal, sel pulau Langerhans di dalam pankreas harus bekerja ekstra keras untuk mensintesa insulin guna menurunkan gula darah. Dalam waktu singkat, kompensasi tersebut mungkin masih dapat ditoleransi. Namun dalam jangka panjang, pankreas akan kewalahan memproduksi insulin.
Keadaan buruk itu biasanya diperparah lagi oleh kebiasaan jelek yaitu suka ngemil (makan camilan) dan hobi makan. Akibatnya, gula darah terus tinggi dan mencetuskan diabetes.
Untuk membantu mengatasi masalah kegemukan dan diabetes diperlukan manajemen menjaga level gula darah agar berada dalam kondisi normal (60–120 mg/dL). Strategi yang dapat diterapkan adalah mengonsumsi makanan yang paling rendah meningkatkan gula darah tetapi memberikan rasa kenyang. Caranya adalah mengonsumsi produk pangan dengan indeks glisemik (IG) rendah dan indeks kekenyangan (IK) tinggi.
Pangan-IG rendah
Di dalam ilmu nutrisi, respons gula darah setelah mengonsumsi bahan pangan berkarbohidrat dinyatakan sebagai IG. Parameter ini didefinisikan sebagai luasan di bawah kurva perubahan gula darah (respons glisemik) selama 2 jam setelah mengonsumsi 50 g karbohidrat dari produk pangan yang diuji, kemudian dibandingkannya dengan luasan kurva referensi dari glukosa atau roti dari terigu halus (white bread).
Pangan dengan IG tinggi memiliki puncak respons glisemik yang tinggi sehingga luasannya pun lebih tinggi dibanding pangan dengan IG rendah. Implikasinya, muncul respons hormonal (insulin) yang tinggi sebagai counterregulatory terhadap gula darah yang tinggi tersebut. Efek berikutnya, pada periode akhir dua jam setelah makan bahan pangan IG tinggi, gula darahnya lebih rendah dibanding kondisi awal dan ini membangkitkan rasa lapar.
Sebaliknya, pada IG rendah, di fase akhir gula darah masih lebih tinggi dari awalnya dan ini mengurangi risiko hipoglisemia dan tidak menggugah rasa lapar.
Lebih dari 600 jenis bahan pangan telah dievaluasi nilai IG-nya. Beberapa contohnya dapat dilihat pada Tabel 1. Secara umum, pangan IG rendah dicirikan dengan kaya serat dan miskin karbohidrat sehingga lambat untuk dicerna, misalnya, kedelai, apel, jeruk, dan anggur.
Kacang tanah, meski memiliki IG rendah, kadar lemaknya cukup tinggi sehingga dapat memberi sumbangan energi yang tinggi pula. Karena itu, kacang tanah tidak ideal bagi yang kegemukan.
Pangan IG tinggi kebanyakan memiliki kandungan karbohidrat, pati dan atau glukosa tinggi, kadar serat rendah, lewat matang/overripened pada buah-buahan, lewat masak/ overcooked pada makanan, dan bertekstur halus.
Pangan-IK tinggi
Beberapa tahun lalu, Dr Susane Holt dan kawan-kawan dari Human Nutrition Unit, Sidney University, telah mengevaluasi dan melaporkan skor IK dari berbagai produk pangan yang diukur pada nilai energi sama, yaitu 240 kalori atau 1.000 K joule
Prinsip penentuan IK adalah mengukur respons kekenyangan setelah dua jam makan bahan pangan yang diuji dan membandingkannya dengan respons kekenyangan dari white bread (diberi skor 100) sebagai pangan referensi.
Kebanyakan pangan yang mengenyangkan mengandung karbohidrat atau protein tinggi dan sebagian besar kaya serat dan air, misalnya kentang rebus, ikan, jeruk, dan apel. Karena kadar lemaknya rendah, pangan tersebut memiliki kandungan energi yang rendah pula. Untuk menyediakan 240 kalori diperlukan jumlah bahan pangan yang lebih banyak. Ini berarti mengisi perut lebih banyak pula.
Dari tabel tersebut juga terdapat kecenderungan, pangan IK tinggi memiliki IG yang rendah sehingga laju pencernaan dan absorpsinya yang lambat akan memperpanjang stimulasi reseptor-reseptor nutrien di dalam usus. Hal ini akan dapat memberikan perasaan kenyang.
Dari beberapa bahan pangan, kentang rebus menduduki papan atas dalam IK (323 persen) dan memiliki IG yang rendah (56 persen). Demikian halnya dengan jeruk, apel, dan produk kedelai. Produk pangan ini dapat digunakan sebagai pilihan utama diet bagi penderita kegemukan dan diabetes. Selanjutnya, jangan banyak mengonsumsi kentang panggang, nasi pulen, dan bubur beras, karena bentuk olahan ini ternyata memiliki IG tinggi.
oleh : Wisnu Adi Yulianto Mahasiswa S3 Ilmu Pangan UGM, Dosen FTP Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta (Kompas)