Kalimat ini biasanya muncul di kalangan para ibu. Mitos bahwa anak gemuk adalah anak sehat, segar, dan lucu seharusnya mulai diperbarui demi mendapatkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas di masa depan.
Mengapa demikian? Guru besar Ilmu Kesehatan Anak dari Universitas Padjadjaran Dedi Subardja mengatakan, obesitas pada anak sangat akrab dengan penyakit degeneratif, seperti kardiovaskular, kolesterol tinggi, darah tinggi, diabetes melitus, dan penyakit degeneratif lainnya. Secara psikologis, kegemukan akan mengganggu anak-anak karena biasanya mereka menjadi bahan olok-olokan di lingkungannya.
"Saat ini ada sekitar 10 anak obesitas atau kegemukan yang berobat pada saya dan beberapa di antaranya sudah ada yang menderita penyakit diabetes dan penyakit degeneratif lainnya," ujar Dedi.
Sayangnya, tak banyak orangtua yang menyadari bahaya yang mengancam di balik kegemukan yang dialami anaknya. Yang lucu, ujar Dedi, banyak orangtua yang baru terhenyak ketika anak laki-lakinya yang gemuk memiliki penis kecil. "Jadi, mereka datang mengobati anaknya yang gemuk bukan karena masalah konsumsi makanan yang berlebihan, tetapi karena penis yang kecil," katanya.
Pada anak laki-laki, komplikasi dari kegemukan adalah ukuran penis menjadi kecil. Hormon laki-laki pada anak-anak yang gemuk biasanya lebih sedikit. Itu sebabnya biasanya selain mengatur pola makan yang seimbang dengan aktivitas anak, pada laki-laki yang mengalami kegemukan dan telah melewati masa praremaja (sekitar 10-12 tahun) akan ditambahkan hormon laki-laki. Sementara pada perempuan, obesitas justru akan meningkatkan jumlah hormon perempuan yang ada dalam dirinya sehingga mereka menjadi lebih cepat puber dan mendapatkan menstruasi. Mengukur obesitas
Menentukan obesitas ada berbagai cara, antara lain bisa dengan mengukur indeks massa tubuh (IMT), yaitu berat badan (kg) dibagi tinggi badan (m) kuadrat.
Jika anak berberat badan 30 kg dan bertinggi badan 120 cm, indeks tubuhnya dihitung dengan cara 30 : (1,20 x 1,20) = 20,8. Jika IMT antara 20-24,9, anak dianggap normal. Pada 25- 29,99, anak dianggap memiliki berat badan lebih. Sementara jika lebih dari 30, anak mengalami obesitas.
Obesitas juga bisa diukur dengan cara menghitung perbandingan berat badan terhadap tinggi badan. Anak yang berat badannya melebihi 120 persen baku tinggi badannya dikatakan mengalami obesitas. Tingkatannya ada obes ringan sama dengan berat badan (BB) terhadap tinggi badan (TB) lebih besar dari 120- 170 persen. Obes sedang, BB terhadap TB lebih besar dari 170- 240 persen. Obes berat, BB terhadap TB lebih besar dari 240 persen.
"Merawat anak adalah seni. Bagaimana mendisiplinkan anak untuk mendapatkan berat badan yang ideal juga merupakan seni bagi orangtua. Diperlukan seni dan penerapan disiplin dari orangtua agar anak memiliki pola hidup yang sehat," ujar Dedi./Kompas