Anak bertubuh gemuk mungkin menggemaskan. Tetapi, dari sisi medis anak-anak dengan kelebihan berat badan (overweight) apalagi sampai kegemukan (obesitas) harus diwaspadai.
Kegemukan pada anak bisa memicu penyakit terutama jantung, diabetes, fungsi paru, peningkatan kadar kolesterol, gangguan ortopedik (kaki pengkar) sampai rentan terhadap kelainan kulit.
Tak hanya itu, dokter ahli anak pada Subbagian Nutrisi dan Metabolik Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) Jakarta Dr Damayanti Rusli Sjarif mengingatkan, bentuk tubuh anak kegemukan bisa membuat ia malu sehingga tersingkir dari berbagai kegiatan di sekolah atau lingkungannya.
Menurut berbagai studi yang dikutip Damayanti, kegemukan pada anak-anak, jika dibiarkan akan menetap hingga dewasa. Akibatnya, orang bersangkutan berpotensi menderita banyak penyakit.
Kisah Reno (bukan nama sebenarnya) bisa menjadi acuan. Anak lelaki berusia tujuh tahun yang tinggal di Jakarta Barat itu kini berberat tubuh 55 kilogram. Akibatnya, kaki Reno tak berkembang optimal. Kakinya melengkung berbentuk O. Setahun terakhir, kakinya tak kuat lagi membawa tubuhnya berjalan jauh. "Kalau jalan 100 meter-an masih kuat, tapi setelah itu ia kecapekan lalu minta gendong," tutur Lies, ibunda Reno.
MENURUT Damayanti, obesitas ialah kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan. Sedang overweight ialah kelebihan berat badan dibandingkan dengan berat ideal. Ini bisa terjadi karena penimbunan jaringan lemak atau nonlemak.
Sekarang, jumlah anak penderita obesitas makin banyak. Menurut Damayanti, prevalensi obesitas pada anak usia 6-17 tahun di Amerika Serikat dalam tiga dekade terakhir naik dari 7,6-10,8 persen menjadi 13-14 persen. Sedangkan anak sekolah di Singapura naik dari 9 persen menjadi 19 persen.
Mengutip Survey Kesehatan Nasional, di Indonesia prevalensi obesitas pada balita juga naik. Prevalensi obesitas 1989 di perkotaan 4,6 persen lelaki dan 5,9 persen anak perempuan. Empat tahun kemudian naik menjadi 6,3 persen (lelaki) dan 8 persen (perempuan).
Penelitian oleh Djer (1998) menunjukkan prevalensi obesitas anak di sebuah SD negeri Jakarta Pusat 9,6 persen. Penelitian oleh Meilany (2002), prevalensi obesitas anak di tiga SD swasta di kawasan Jakarta Timur 27,5 persen. Data rekam medik mengenai kasus baru obesitas di Poliklinik Gizi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta periode 1995-2000 ada 100 pasien, 35 persennya balita.
"Kasus obesitas terjadi karena asupan energi tinggi, sementara keluaran energinya rendah. Pola makan anak yang kerap mengonsumsi makanan siap saji-kadar lemak dan garam tinggi-memperburuk keadaan," kata Damayanti.
Tak mengherankan jika penelitian Himpunan Obesitas Indonesia (Hisobi) di sejumlah SD favorit di Jakarta Selatan baru-baru ini menunjukkan prevalensi obesitas pada anak mencapai 20 persen.
Penelitian di Semarang menunjukkan, dari 1.730 anak usia 6-7 tahun, diketahui 12 persen menderita obesitas dan 9 persen kelebihan berat badan. Kini, penelitian serupa diadakan di sekolah-sekolah di Padang, Semarang, Yogyakarta, Manado, dan Bandung.
SECARA terpisah, dr HR R Rachmad Soegih, Sp GM dari Bagian Ilmu Gizi FK UI-RSCM mengingatkan perlu memeriksa berat badan secara rutin. Cara sederhana yang bisa dilakukan adalah memeriksa lingkar pinggang tepat di bawah titik tulang pinggul.
Cara lain, dengan mengetahui lewat indeks massa tubuh (IMT) yakni berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat.
Misalnya seseorang memiliki berat badan 70 kg:1,7 m² (karena tingginya 170 sentimeter) maka hasilnya 24,22 kg/m². Hasil itu kemudian dilihat pada tabel klasifikasi nilai IMT. Menurut klasifikasi IMT, yang bersangkutan termasuk obesitas tingkat pertama.
Mereka yang obesitas, kata Ketua Umum Hisobi Prof Dr dr Askandar Tjokroprawiro, harus mengurangi konsumsi makanan hingga separuh porsi dan mengimbanginya dengan berolahraga teratur.
Bagi anak penderita obesitas, Damayanti menyarankan pengaturan diet, peningkatan kegiatan fisik, mengubah pola hidup, dan melibatkan keluarga dalam terapi.
Ia juga menyarankan anak harus punya kegiatan fisik di luar sekolah 20-30 menit per hari. "Kegiatan fisik akan meningkatkan laju metabolisme, sementara latihan aerobik secara teratur bisa menurunkan berat badan," jelas Damayanti/Kompas