Salah satu pilihan berbuka puasa bagi orang kantoran yang sibuk adalah makanan cepat saji (fast food) ala Barat. Selain enak, lezat, juga praktis. Tapi empat restoran cepat saji diseret ke pengadilan dengan tuduhan menyebabkan sakit. Betulkah fast food berbahaya? Mengkonsumsi makanan dari restoran fast food, terutama yang menyediakan menu Western Style, semakin sering ditemukan di masyarakat kota-kota besar. Selain jumlah outlet (gerai) restoran-restoran tersebut semakin banyak di berbagai penjuru kota, menu fast food umumnya cepat dalam penyajian.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh "Health Education Authority", usia 15-34 tahun adalah konsumen terbanyak yang memilih menu fast food. Walaupun di Indonesia belum ada data pasti, keadaan tersebut dapat dipakai sebagai cermin dalam tatanan masyarakat kita, bahwa rentang usia tersebut adalah golongan pelajar dan pekerja muda.
Di kota besar banyak ditemukan konsumen yang memilih menu fast food, karena keterbatasan waktu maupun fasilitas untuk menyiapkan makanannya sendiri. Selain itu pada kalangan tertentu mengkonsumsi fast food juga menjadi bagian dari gaya hidup.
Membuat Ketagihan
Samuel Hirsch, seorang pengacara dari New York, menuntut empat restoran fast food (cepat saji) terkemuka di Amerika. Tuntutan itu dilakukan, karena makanan berkadar lemak tinggi yang disajikan restoran-restoran tersebut dianggap bertanggungjawab atas gangguan kesehatan dan kegemukan yang diderita kliennya, sebagaimana dikutip surat kabar Fox on-line.
Hirsch juga mewakili dua klien lain dengan kasus serupa, yang dalam waktu dekat akan maju ke pengadilan New York. Frances Winn, klien Hirch, adalah pensiunan perawat berusia 57 tahun, mempunyai kebiasaan makan fast food sedikitnya dua kali seminggu sejak tahun 1975. Hal itu membuat berat badannya meningkat, menderita tekanan darah tinggi, kolesterol dan gangguan kelenjar tiroid.
Klien Hirsch lainnya, Israel Bradley. Ia biasa mengkonsumsi sekitar 400 gram kentang goreng, walau hanya sekali dalam seminggu. Di usianya saat ini, 59 tahun, ia menderita tekanan darah tinggi, kencing manis dan kegemukan.
Semua penyakit itu akhirnya membuat ia sempat dilarikan ke ruang gawat darurat rumahsakit dan menjalani hidup selanjutnya dengan bantuan tongkat untuk menopang langkahnya. "Menu fast food membuat konsumen ketagihan, terutama anak-anak," kata Hirsch.
Tinggi Lemak
Pada umumnya menu fast food mengandung lebih tinggi kalori, garam dan lemak termasuk kolesterol, dan menu tipe western umumnya hanya sedikit mengandung serat (dietary fiber). Kalori adalah satuan ukuran untuk energi yang didapatkan tubuh dari makanan seperti dari karbohidrat, protein dan lemak. Setiap gram karbohidrat dan protein memberikan kurang lebih 4 kalori energi, sedangkan dari 1 gram lemak diperoleh hampir 9 kalori.
Fungsi normal tubuh seperti bernapas dan denyut jantung, serta aktivitas fisik membutuhkan energi. Kebutuhan energi setiap orang berbeda-beda, antara lain dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin, dan tingkat aktivitas seseorang.
Kekurangan kalori merupakan salah satu penyebab menurunnya produktivitas kerja. Sebaliknya kelebihan kalori akan menambah berat badan dan menyebabkan kegemukan.
Banyak penelitian membuktikan, seperti halnya kegemukan (obesitas), konsumsi tinggi lemak menyebabkan peningkatan kolesterol dalam darah dan merupakan salah satu faktor risiko pemicu penyakit jantung, stroke dan diabetes. Selain itu, diet tinggi lemak juga memperbesar risiko terkena kanker, terutama kanker payudara dan usus besar.
Dalam hidupnya, setiap orang juga membutuhkan asupan garam dari makanan, untuk mengganti sejumlah zat gizi yang dikeluarkan tubuh sehari-hari. Pengeluaran tersebut antara lain melalui keringat, tinja dan air kemih.
Unsur natrium adalah kandungan mineral yang paling dominan menjadi komposisi garam dalam makanan. Pada orang tertentu, diet tinggi garam mempunyai hubungan dengan risiko terjadinya penyakit darah tinggi.
Adapun serat dari makanan merupakan karbohidrat komplek, yang tidak turut dicerna. Serat dapat membantu fungsi pencernaan dengan mengurangi kemungkinanan sulit buang air besar, selain peran lainnya dalam menurunkan kadar kolesterol dan gula darah.
Obesitas Meningkat
Penelitian-penelitian memang menemukan adanya kaitan antara riwayat kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan lemak, dengan meningkatnya kegemukan. Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), angka kejadian obesitas di negara maju seperti Amerika Serikat, Australia dan negara-negara Eropa sangat tinggi. Angka ini terus meningkat dari tahun ke tahun.
Di wilayah Asia Pasifik, gejala ini juga mulai berkembang, terutama di wilayah perkotaan. Lebih mengejutkan, beberapa kasus obesitas ditemukan sejak usia anak-anak. Di Malaysia, Cina dan Jepang, sekitar 5 - 17 persen kasus obesitas terjadi pada golongan usia yang relatif muda yaitu 6-14 tahun.
Perlukah Menghindari?
Menanggapi tuntutan pengacara Hirch, pihak industri fast food bereaksi bahwa tuduhan tersebut tidak masuk akal."Tersedia banyak pilihan jenis restoran dan konsumen bebas menentukan pilihannya," sebagaimana diungkapkan Katharine Kim, juru bicara Asosiasi Restauran Nasional Amerika Serikat.
Walter Olson, pakar hukum dari Institut Manhattan melontarkan pembelaan senada, "Banyak orang umumnya sudah menyadari, bahwa mengkonsumsi burger keju ukuran besar tentu saja tidak sama dengan sayuran." Juru masak dari salah satu restoran yang dituntut mengatakan, "Lagipula, makanan bukan satu-satunya faktor yang menentukan kesehatan, latihan jasmani juga penting."
Menyikapi kontroversi yang muncul sekitar fast food, memang sulit disangkal adanya kaitan antara riwayat kebiasaan mengkonsumsi hidangan cepat saji dengan kegemukan, yang manifestasi utamanya pada sistem pembuluh darah.
Di lain pihak, menu fast food memang tidak selalu identik dengan makanan yang berbahaya bagi kesehatan, selama konsumsi jenis makanan tersebut dilakukan dengan lebih selektif, bijaksana serta tidak dijadikan suatu kebiasaan rutin.
Adalah tepat jika disadari pula, bahwa makanan bukan satu-satunya faktor pencetus kondisi-kondisi gangguan kesehatan tersebut. Kegemukan secara garis besar terjadi karena asupan kalori lebih banyak dari jumlah kalori yang dibakar, guna keperluan tubuh menjalankan fungsinya dan beraktivitas. Akibatnya, kelebihan kalori yang tidak dibakar tersebut akan menumpuk di tubuh, dalam bentuk lemak. Sehingga berat badan dan kandungan lemak dalam tubuh, termasuk kolesterol darah, dapat cenderung meningkat.
Untuk itu, kita perlu lebih selektif dalam memilih makanan, lalu dikombinasikan dengan kebiasaan hidup sehat lainnya. Misalnya, berolahraga secara teratur akan memberikan hasil lebih optimal pada kesehatan tubuh.
oleh : Dr. M. Rumawas, M.Sc. Pusat Kajian Gizi Regional Universitas Indonesia (Kompas)