Sudah jadi rahasia umum bahwa wanita suka hal-hal romantis. Wanita mana yang tidak akan menitikkan airmata menyaksikan adegan drama romantis di film kesayangannya? Atau, semua wanita pada suatu saat pasti pernah memimpikan akan bertemu dengan ‘sang ksatria berbaju besi’ yang akan menyelamatkannya hingga ‘hidup bahagia selamanya’. Sebenarnya, apa sih yang membuat wanita begitu ‘tergila-gila’ pada semua hal yang berbau romantis, sementara pria sepertinya tak telalu peduli akan hal tersebut? Definisi romantis sebenarnya sederhana, yaitu melakukan perbuatan untuk mempengaruhi perasaan seseorang dengan memberikan perhatian berlebih, hadiah atau pujian. Tapi, seperti kita ketahui, ada yang lebih dari sikap romantis ketimbang sekedar sebuah kerlingan mata, seutas senyum, sekotak coklat atau segudang pujian. Benarkah?
Tentu saja, ujar Robert Billingham, seorang professor di bidang perkembangan manusia dan studi keluarga dari Indiana University, AS. "Namun, untuk menjelaskan hal itu lebih lanjut, pertama-tama kita harus menyamakan ‘bahasa’ dengan mengganti kata ‘romantis’ dengan kata ‘sayang’ atau ‘peduli’, karena itulah yang sebenarnya dicari oleh wanita," ungkap Billingham.
"Bagi wanita, sikap romantis adalah refleksi dari kepercayaannya terhadap pasangannya," kata Billingham. "Dari sudut pandangnya yang mendalam, seorang wanita akan menyadari bahwa keintiman seksual melibatkan kerelaan untuk ‘menyerahkan diri’. Saat berhubungan seks, seorang wanita akan ‘membiarkan’ dirinya ‘diserang’ secara fisik oleh pria, yang notabene lebih besar dan lebih kuat dibanding dirinya. Dalam hal ini, dibutuhkan rasa percaya yang amat besar.
Keintiman seksual yang sejati sifatnya amat emosional dan membutuhkan rasa percaya yang amat besar dari pihak wanita. Bahkan, seorang pelacur pun akan mengatakan hubungan seks bersama pacarnya akan berbeda dengan yang dilakukannya untuk pelanggannya, karena ketika mereka ‘bekerja’, tak ada keterikatan emosional.
"Ketika seorang pria bersikap romantis terhadap wanita, itu tandanya ia menunjukkan rasa sayangnya pada wanita tersebut dan menyatakan bahwa ia mampu memenuhi kebutuhannya. Yang ingin dikatakannya adalah, "Aku tertarik padamu, dan aku tak bermaksud jahat , percayalah padaku," ujar Billingham. "Dan hal-hal seperti itulah yang dibutuhkan seorang wanita agar ia jatuh cinta pada pria tersebut—dan tetap mencintainya. Di lain pihak , pria tak membutuhkan kedekatan emosional dan rasa percaya yang besar untuk memulai suatu hubungan seks. Yang dibutuhkannya hanyalah ereksi dan sebuah target."
Seorang neurolog, Dr. James Olds, setuju dengan teori bahwa wanita memang menyukai (dan membutuhkan) keromantisan, tapi hal itu lebih disebabkan karena otak wanita memang diprogram untuk berespon positif terhadap hal itu. "Alasan mengapa seseorang jatuh cinta adalah adanya dorongan dari dalam hati untuk berreproduksi—yaitu untuk membuat kopi genetic dari dirinya," ungkap Olds, direktur Krasnow Institute for Advanced Study di George Mason University, Virginia, AS. "Akan tetapi pria dan wanita memandang reproduksi dari kacamata yang berbeda," ujarnya.
"Pria memiliki persediaan sperma yang hampir-hampir tak terbatas dan telah terprogram secara biologis untuk ‘menyebarkan benih-benih itu’—untuk memaksimalkan kesempatan mengkopi DNA mereka sebanyak mungkin. Sementara, wanita hanya memiliki sel telur dalam jumlah terbatas dan telah terprogram secara genetik untuk melindunginya.
Otak wanita memandang pasangan prianya sebagai ‘calon ayah yang potensial’ bagi telurnya—itulah mengapa mereka menunggu ‘tanda-tanda’ dari pria. Sikap romantis atau peduli yang diperlihatkan oleh pria ditanggapi secara positif oleh wanita sebagai bukti bahwa sang pria dapat membantunya membangun ‘sarangnya’, mampu menghidupinya serta membantunya mengasuh anak," jelas Olds. "Jadi, sebenarnya otak manusia itu terpenjara oleh kodrat biologisnya sendiri."
Secara ilmiah hal tersebut dapat diartikan sebagai berikut: meskipun kita mengaku diri kita ‘kebal’ terhadap hal-hal yang romantis atau tidak mudah terpengaruh oleh ‘roman picisan’, bila kita mendapat perlakuan romantis dari orang yang tepat akan memicu hasrat kita untuk berumah tangga dan membina keluarga.
Hal itu mungkin ada benarnya. Paling tidak Linda, 39, seorang produser dari sebuah rumah produksi yang juga adalah ibu dari seorang anak berusia 3,5 tahun, mengaku telah mengalaminya. "Dulu, aku sama sekali bukan penggemar hal-hal romantis," kenangnya. "Aku hampir tak pernah membaca novel-novel roman atau menonton telenovela dan sejenisnya. Aku juga tak pernah pacaran dengan pria romantis. Rasanya, aku tak pernah mendapat bunga di Hari Valentine. Sebelum aku bertemu Edi yang sekarang menjadi suamiku, aku tak pernah terlalu memikirkan hal-hal yang romantis. Tapi saat mengalaminya sendiri, rasanya waw—tiada duanya!"
Ia menganggap Edi sejak pertama memang romantis—keromantisan yang tulus dan tidak dibuat-buat, dan itu menjadi salah satu alasan mengapa ia langsung jatuh hati pada pandangan pertama dan memutuskan untuk menikah dengannya. Salah satu bukti keromantisannya adalah, "Edi selalu mengingat tanggal-tanggal bersejarah dan semua perkataanku, ia juga suka merencanakan kejutan-kejutan kecil. Seperti ketika ulang tahun pernikahan kami yang pertama, ketika itu kami sama-sama sibuk. Ia baru memperluas usahanya—jadi keuangan sedikit ketat waktu itu—dan aku sendiri tenggelam dalam pekerjaanku. Jadi aku tak membuat rencana khusus untuk merayakannya dan ia pun tak menyiratkan niat bahwa ia merencanakan sesuatu. Ketika hari itu tiba, ia hanya berkata, "Ayo kita makan malam di luar," dan dengan tampang seolah tak terjadi apa-apa menyarankanku untuk memakai gaun yang spesial.
Tahu-tahu, di depan pintu rumah kami telah menunggu sebuah limosin yang penuh berisi sampanye yang kemudian membawa kami ke sebuah restoran mahal yang biasanya harus dipesan jauh-jauh hari. Aku amat kaget sekaligus tersentuh dengan caranya memanjakanku. Ketika kutanya mengapa ia melakukan ini semua, ia hanya berkata, "Ulang tahun pernikahan yang pertama ‘kan hanya sekali seumur hidup." "Jadi, menurutku, keromantisan sejati adalah ketika seorang pria benar-benar memahami diri Anda dan rela melakukan sesuatu untuk membuat Anda merasa diistimewakan," ujarnya.
Mungkin orangtua kita juga telah menemukan kebenaran dari hal ini sejak dulu. Ambil contoh Oma Ella, 70, yang bersama suaminya, Herman, telah hidup bersama selama lebih dari 50 tahun. "Opa Herman bukan tipe pria romantis, apalagi jaman dulu tak ada romantis-romantisan, tapi ia selalu penuh perhatian," ungkap Oma Ella. "Dan menurutku itu yang lebih penting daripada apapun di dunia ini." "Kami sangat suka berbagi—baik dulu maupun sekarang," ujarnya. "Dan selalu begitu sepanjang perkawinan kami. Kami sangat tertarik dengan kegiatan satu sama lain dan biasanya tak sabar untuk menceritakan kejadian selama sehari. Bersikap romantis itu lebih dari sekedar memberi bunga atau hadiah—siapa saja dapat memberinya. Tapi hanya orang-orang tertentu yang peduli pada anda dan ingin anda berbahagia. Bila itu terjadi, itu baru namanya romantis." (klinik pria)/kapanlagi