Modernisasi Yang Tertipu
SALAH satu mitos yang memasyarakat luas adalah mitos seks, dan tidak ada mitos lain yang ramai dibicarakan daripada mitos ini. Tiap-tiap masyarakat di dunia ini mempunyai mitos tersendiri yang sudah mereka percayai tentang seks, dan kemudian mempengaruhi pandangan serta perilaku seksual mereka. Tidak jarang perilaku tersebut menimbulkan akibat buruk bagi yang bersangkutan maupun pasangannya.
SALAH satu mitos yang memasyarakat luas adalah mitos seks, dan tidak ada mitos lain yang ramai dibicarakan daripada mitos ini. Tiap-tiap masyarakat di dunia ini mempunyai mitos tersendiri yang sudah mereka percayai tentang seks, dan kemudian mempengaruhi pandangan serta perilaku seksual mereka. Tidak jarang perilaku tersebut menimbulkan akibat buruk bagi yang bersangkutan maupun pasangannya.
Umumnya mitos tumbuh di masyarakat yang rendah ilmu pengetahuannya, dan seringkali menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Tapi, dalam masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan yang semakin maju, maka pengaruh dari mitos-mitos tersebut akan semakin minim, dan bahkan lambat laun akan menghilang. Itu karena masyarakat semakin mengerti bahwa informasi tersebut salah dan menyesatkan.
Sampai saat ini terdapat banyak mitos seks yang memasyarakat, dan bahkan telah banyak mempengaruhi perilaku seksual. Mitos-mitos yang boleh dibilang menyesatkan itu di antaranya adalah :
Mitos tentang darah perawan. Mitos ini sudah sejak zaman dulu beredar dan sampai saat ini masih tetap diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh sebagian besar masyarakat kita. Pria maupun wanita menyakini diri mereka bahwa seorang wanita harus mengeluarkan darah perawannya pada saat pertama kali melakukan hubungan seksual. Yang tidak mengeluarkan darah perawan berarti bukan perawan lagi, atau berarti sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelumnya. Dan itu sangatlah hina sekali, karena wanita tersebut berarti telah berzina.
Sesungguhnya, mitos ini sangat berpengaruh buruk, apalagi bila seorang pria yang menyakini hal seperti ini akan sangat kecewa dan merasa dikhianati bila saat pertama kali bercinta dengan sang istri tercinta ternyata tidak mengeluarkan darah perawannya. Pria itu lalu menganggap bahwa istrinya itu sebelumnya pernah melakukan hubungan seksual dengan pria lain.
Padahal sesuai dengan reaksi seksual yang normal, dalam keadaan yang cukup terangsang, seorang wanita akan mengalami pelendiran pada dinding vaginanya. Reaksi inilah yang membuat suatu hubungan seksual berjalan mulus tanpa hambatan, sehingga pendarahan tidak terjadi. Akan tetapi sebaliknya, jika seorang wanita tidak cukup terangsang karena mengalami hambatan tertentu, maka pelendiran pada dinding vagina tidak akan terjadi. Dan hal ini akan mengakibatkan pendarahan karena luka lecet pada vagina saat penis diinsersikan ke dalam vagina, dan begitu seterusnya pada saat melakukan hubungan seksual.
Parahnya lagi, mitos ini telah banyak menimbulkan dampak yang buruk dalam suatu perkawinan akibat suami menuntut harus terjadi pendarahan vagina saat pertama kali melakukan hubungan seksual dengan istrinya.
Bagi sebagian suami, keyakinan akan mitos ini kuat sekali, sehingga ia menganggap kalau hal ini telah mengganggu hidup pernikahannya, dan parahnya lagi kalau sampai mengakibatkan perceraian.
Mitos tentang masturbasi. Mitos ini juga sudah berkembang sejak dulu. Masturbasi, yang lebih dikenal dengan sebutan onani, dianggap dapat mengakibatkan seseorang menjadi mandul atau impoten, atau akibat-akibat lainnya seperti mata kabur, tulang keropos dan menurunnya daya ingat.
Banyak orang cemas dengan anggapan salah ini, terutama para remaja. Mereka takut hal tersebut akan menimbulkan akibat yang buruk pada diri mereka. Tanpa mereka sadari, kecemasan inilah yang justru dapat menimbulkan disfungsi seksual.
Apalagi mitos ini diperkuat oleh Tissot pada abad XVIII dengan bukunya yang berjudul Onani yang berisi bahwa melakukan onani dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit. Agaknya anggapan salah itu mekin diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang rendah pengetahuan tentang seksnya.
Seperti yang tertulis dalam kitab Perjanjian Lama, istilah onani sebenarnya berasal dari nama orang, yaitu Onan. Konon Onan diminta menikahi istri kakaknya setelah sang kakak meninggal dunia. Tapi Onan tidak menginginkan anak dari perempuan itu, sehingga ketika melakukan hubungan seksual, ia melakukan senggama terputus, dalam arti ia memuaskan keinginan seksualnya sendiri, tanpa bantuan istri kakaknya yang telah menjadi istrinya itu. Dari kisah lama itu, agaknya muncul istilah onani, tapi diartikan sebagai masturbasi, dan bukan senggama terputus seperti yang dilakukan Onan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua pria, dan 80% wanita pernah melakukan masturbasi. Hal ini tidak dilakukan oleh mereka yang telah menikah saja, bahkan lebih banyak dilakukan oleh pria maupun wanita yang belum menikah. Dalam keadaan tertentu, pria maupun wanita yang sudah menikah pun tetap melakukannya.
Dalam perkembangan psikoseksual anak pun, saat anak memasuki fase falus, seorang anak telah melakukan masturbasi. Pada fase ini anak laki-laki maupun perempuan senang mempermainkan kelaminnya. Perbuatan yang mereka lakukan ini sebenarnya juga merupakan salah satu bentuk dari masturbasi.
Dalam usaha mengatasi gangguan fungsi seksual, masturbasi juga digunakan sebagai satu cara penyembuhan. Pada pria, masturbasi digunakan sebagai suatu cara mengatasi ejakulasi terlambat.
Mitos tentang ukuran penis. Sampai sekarang pun, banyak pria yang jadi tidak percaya diri dan bahkan merendahkan dirinya karena merasa ukuran penisnya jauh dari normal - yang diidam-idamkan setiap pria maupun wanita. Padahal, tanpa dia sadari sebenarnya ukuran penisnya sudah normal.
Kecemasan dan kekecewaan ini muncul karena mereka telah terpengaruh mitos tentang ukuran penis yang menyebutkan bahwa ukuran penis sangat menentukan dalam hubungan seksual, agar wanita dapat mencapai kepuasan. Makin besar penis, akan semakin baik. Celakannya, mitos ini juga banyak diyakini oleh sebagian besar wanita. Akibat lebih jauhnya, banyak pria yang jadi takut melakukan hubungan seksual yang bahkan akhirnya tidak mampu lagi melakukan hubungan seksual.
Anggapan salah ini mendorong pria yang memiliki penis kecil mencari jalan keluar dengan cara melakukan pembesaran. Dan hal ini dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk menawarkan berbagai jenis obat-obatan maupun terapi untuk membesarkan penis yang kecil itu. Sesungguhnya hal tersebut tidak ilmiah, dan hanya memberikan suatu harapan yang hampa saja.
Bagi pihak wanita, mitos tersebut juga menimbulkan akibat yang buruk dan secara psikis juga dapat mengganggu diri mereka. Karena menganggap penis pasangannya tidak normal, kecil, dan tidak seperti yang ia harapkan.
Padahal secara fisik, ukuran penis bukan satu-satunya penentu dalam memberikan kepuasan seksual pada wanita, sepanjang dalam ukuran normal dan berfungsi dengan baik. Agaknya perlu diketahui lebih lanjut lagi bahwa ukuran penis yang terlihat kecil sebelum ereksi akan makin bertambah besar pada saat pria mendapatkan cukup rangsangan dan mencapai ereksi. Selain itu, besar kecilnya penis tidak ada hubungannya dengan kemampuan ereksi seorang pria.
Mitos lainnya, yaitu tentang etnik dan seks. Sudah lama kita mendengar ceritera mengenai etnik tertentu yang konon mempunyai alat kelamin berbeda. Ada ceritera tentang perempuan dari etnik tertentu di Indonesia yang mempunyai kelebihan pada vaginanya. Bahkan mitos ini diramaikan dengan tawaran-tawaran produk tradisional untuk memperbaiki fungsi seksual.
Percaya atau tidak, ceritera ini jelas-jelas sebuah mitos. Karena kalau dipikir dengan akal sehat, tidak ada perbedaan etnik yang mengakibatkan berbedanya bentuk anatomik vagina seorang wanita. Kalau ada, itu hanyalah perbedaan ekspresi atau perilaku seksual wanitanya saja, dan sama sekali tidak dipengaruhi oleh faktor etnik tertentu.
Perilaku seksual dipengaruhi oleh hormon seksual, faktor sosiokultural, pengetahuan seks, dan pengalaman seksual. Khusus mengenai faktor sosiokultural agaknya penyebab perbedaan perilaku seksual antaretnik. Tetapi pada masa modern sekarang, anggapan ini semakin tipis dan cenderung menghilang, sehingga pengaruhnya terhadap perilaku seksual berbagai etnik menjadi semakin tidak berbeda.
Sebagai contoh lain adalah seks oral, yang kini semakin menjadi suatu aktivitas yang umum dilakukan, khususnya di kalangan generasi baru di Indonesia, baik pria maupun wanita. Padahal bagi generasi yang lebih tua yang cenderung berpikiran kolot, perbuatan oral seks ini dianggap sebagai sesuatu hal yang menjijikkan, aneh, dan tidak boleh dilakukan.
Mitos tentang vagina kering, yang katanya lebih memberikan kepuasan seksual ketimbang yang basah/becek. Lalu, wanita gencar melakukan berbagai cara agar vaginanya tidak menjadi basah. Sebenarnya usaha ini menentang reaksi seksual yang terjadi secara normal pada wanita. Karena bila seorang wanita sudah menerima rangsangan, maka ia akan bereaksi, dengan ciri vaginanya licin berlendir menandakan bahwa ia dan tubuhnya telah siap melakukan hubungan seksual.
Hubungan seksual dengan sendirinya akan berlangsung dengan normal dengan bantuan lendir tersebut. Tanpanya, berarti wanita belum cukup menerima rangsangan seksual dan belum cukup bereaksi, sehingga ini berarti seorang wanita belum siap melakukan hubungan seksual. Dan, kalau dengan keadaan seperti ini tetap melakukan hubungan seksual juga, maka akan terjadi gangguan seperti rasa sakit, baik dari wanita maupun pria. Lebih lanjut lagi akan terjadi peradangan pada vagina.
Begitu kuatnya mitos ini mempengaruhi pria maupun wanita, dan mengakibatkan wanita berupaya dengan berbagai cara agar vaginanya tetap kering, di antaranya dengan menghindari makan buah-buahan tertentu yang banyak mengandung cairan, yang padahal, tidak ada sangkut pautnya antara buah yang banyak mengandung air dengan pelendiran vagina.
Di pihak lain, berbagai jamu dan ramuan lainnya ditawarkan oleh para pedagang yang memanfaatkan kebodohan para wanita dan laki-laki pasangannya karena pengaruh mitos itu. Kalau toh mereka berhasil membuat vaginanya kering, sebenarnya mereka hanya menyiksa diri sendiri karena hubungan seksual akan berlangsung dengan tidak normal sebagai akibat tidak adanya reaksi fisiologik terhadap rangsangan seksual yang berupa reaksi vagina.
Mitos tentang posisi hubungan seksual. Mitos ini juga cukup berpengaruh di masyarakat kita. Suatu hubungan seksual dikatakan normal bila dilakukan dengan posisi pria di atas, dan dianggap tidak normal bila dilakukan dalam posisi lain, bahkan dianggap dapat mengganggu kesehatan. Namun, tentu saja ini satu kesalahan besar!
Bagaimana tidak? Karena variasi dalam melakukan hubungan seksual terkadang justru diperlukan. Di antaranya, adalah untuk mencapai kehidupan seksual yang harmonis dan menghindari kebosanan. Namun, dalam memilih posisi hubungan seksual tersebut tentu saja harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, sebab bila hanya menyenangkan satu pihak saja, maka pihak lain akan merasakan kehampaan dan ketidakpuasan. Jadi, hubungan seksual dapat dilakukan dalam posisi apa saja, asalkan sehat dan memang dirasakan menyenangkan kedua belah pihak.
Terakhir adalah, mitos tentang melakukan hubungan seks pada masa menopause. Hal ini sangat mempengaruhi pasangan usia lanjut. Karena menurut mitos itu, kehidupan seksual seorang wanita telah berakhir pada saat ia memasuki masa menopause. Akibat dari anggapan ini, banyak suami yang malah menjauhi istrinya yang telah memasuki masa menopause.
Sungguh tidak adil, bukan? Di pihak lain, wanita merasa dirinya tidak layak dan sudah tidak mampu lagi melakukan hubungan seksual setelah dirinya mengalami menopause. Hal ini tak pelak juga dapat menimbulkan akibat yang merugikan, karena kita dapat menyaksikan pasangan usia lanjut yang memilih perceraian karena masalah seksual seperti ini, atau pria usia lanjut menikah dengan wanita yang usianya jauh lebih muda, dan, malah ada yang menjadikannya sebagai istri muda/simpanan - hanya untuk memenuhi kebutuhan seksual yang tidak ia dapatkan lagi semenjak istrinya menopause.
Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa dorongan seksual wanita akan tetap berlanjut sampai beberapa waktu lamanya setelah ia menopause. Bahkan sebagian wanita baru dapat menikmati kehidupan seksualnya setelah ia menginjak masa menopause ini. Jadi, tidaklah benar sama sekali bahwa menopause berarti telah berakhirnya kehidupan seksual wanita. Kalaupun suaminya tetap menyakini anggapan yang salah itu, maka, mereka dianggap telah melakukan perselingkuhan, dan hal ini sungguh tidak adil sama sekali.
Sebenarnya, hubungan seksual tetap dapat dilakukan seperti biasa pada masa menopause. Tapi, memang, sebagian wanita mengalami rasa nyeri yang terkadang sakit ketika mereka melakukan hubungan seksual. Namun, rasa sakit ini disebabkan karena menipisnya lapisan epitel vagina dan berkurangnya reaksi seksual yang menimbulkan pelendiran, dan ini disebabkan karena menurunnya hormon estrogen. Namun, masalah ini dapat diatasi dengan bantuan cairan pelumas/lubrikasi buatan, sehingga tidak ada satu hambatan pun yang mengganggu keharmonisan hubungan seksual pasangan lanjut usia.
Di samping mitos-mitos tersebut di atas, masih banyak lagi mitos lain yang beredar luas di masyarakat sampai sekarang, yang walaupun sudah terbilang tidak miskin pengetahuan lagi. Nah, tugas kita yaitu meluruskannya agar perilaku seks yang salah, yang acapkali menimbulkan akibat buruk bagi masyarakat kita yang semakin majemuk ini tidak perlu terjadi lagi.